Usulan daerah otonomi baru perlu diseleksi
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menerima 337 usulan pembentukan daerah otonomi baru (DOB). Menurut Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto, jumlah tersebut mencakup 42 usulan pemekaran provinsi, 248 pemekaran kabupaten, 36 pemekaran kota, enam pemekaran daerah istimewa, dan lima pemekaran otonomi khusus.
Berdasarkan provinsi, total usulan terbanyak datang dari Sumatera Utara dan Papua, masing-masing 23 usulan. Disusul Jawa Barat dengan 21 usulan. Berikutnya, ada Maluku dan Papua Pegunungan dengan total 19 usulan.
Soal banyaknya usulan itu, Bima mengatakan, Kemendagri menerima banyak permintaan agar moratorium DOB dihentikan.
“Berapa kali memang terjadi pembicaraan atau diskusi apakah sudah waktunya kita membuka keran DOB tadi,” kata Bima usai rapat kerja Komite 1 DPD dengan Kemendagri di Gedung DPR/MRP, Senayan, Jakarta, Selasa, (10/12), seperti dikutip dari Antara.
Bila kebijakan moratorium dicabut, Bima mengatakan, maka disetujui supaya pembentukan daerah dilaksanakan secara terbatas dan benar-benar berkaitan dengan kepentingan strategis nasional. Sebab, kata dia, banyak DOB yang bisa dibilang tak memenuhi target karena pembiayaan dan ketergantungan pada pemerintah pusat cukup besar, tetapi tak berkembang seperti yang diharapkan.
Menurut Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Cecep Darmawan, usulan DOB baru harus dengan kajian yang mendalam. “Jangan karena alasan politis,” ujar Cecep kepada Alinea.id, Kamis (12/12).
Sebab, untuk memberi daerah otonomi, harus memenuhi kelayakan yang kompleks. “Jadi harus hati-hati. Jangan karena aspirasi, tapi tidak layak diberi,” ucap Cecep.
Sementara itu, jika ingin melakukan otonomi, maka pemerintah perlu merancang terlebih dahulu sebuah daerah yang layak secara teknis dan administrasi menjadi mandiri. Sebelum memberikan status otonomi baru.
“Nanti repot kalau diberi dulu baru dibuat infrastrukturnya,” ujar Cecep.
Cecep mengatakan, sebenarnya dalam konteks otonomi daerah tidak hanya menyoal pemekaran untuk mendekatkan negara pada masyarakat. Namun juga penggabungan yang disertai peningkatan pelayanan akses.
“Tapi pada praktiknya, banyak yang tidak mau penggabungan wilayah karena alasan politis,” kata Cecep.
Akan tetapi, Cecep menuturkan, agar daerah tidak banyak melakukan pemekaran—karena tak sedikit daerah otonomi baru yang bergantung pada pemerintah pusat—maka pelayanan terhadap publik harus ditingkatkan.
“Jadi supaya negara menjadi lebih dekat dan dirasakan masyarakat,” ujar Cecep.
Terpisah, peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nyimas Latifah Letty Aziz menilai, usulan 337 DOB perlu dipilah Kemendagri. Jangan sampai semangat otonomi yang seluas-luasnya justru membuat DOB gagal secara substansi dan teknis lantaran tak memenuhi syarat.
“Selama ini kita perhatikan DOB gagal mengedepankan kepentingan nasional akibat penekanan proses bottom up, yang cenderung parsial dan lebih mengutamakan kepentingan daerahnya masing-masing,” kata Letty, Kamis (12/12).
“Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu menerapkan juga kebijakan yang top down, dengan memperhatikan persoalan krusial baik yang dihadapi oleh nasional maupun lokal.”
Menurut Letty, usulan 337 DOB yang masuk ke Kemendagri harus diseleksi secara teknis, yang perlu melibatkan kementerian teknis, terkait kelayakan potensi sektoral yang dimiliki calon DOB beserta daerah induknya. Misalnya dengan memperhatikan faktor kemampuan ekonomi dan potensi daerah dari sisi sosial-budaya, politik, geografi, birokrasi, dan kependudukan. Letty menyarankan, Kemendagri tidak menggunakan penilaian calon DOB dari aspek kuantitatif karena mudah dimanipulasi.
“Selain itu, penilaian kelayakan politik dilakukan di bawah arahan dan pengawasan DPOD (dewan pertimbangan otonomi daerah) dengan menunjuk lembaga tersertifikasi untuk melakukan assessment melalui beberapa tahapan,” ucap Letty.
“Perlu ada batasan waktu tertentu bagi daerah yang baru dimekarkan untuk dimekarkan lagi guna menghindari dua kali pemekaran dalam waktu berdekatan, misal 10 tahun untuk provinsi dan 25 tahun untuk kabupaten/kota.”
Seturut itu, menurut Letty, harus dilihat tingkat efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dalam pembentukan DOB. Hal ini terkait dengan parameter penataan daerah untuk menjawab tantangan sesungguhnya. Misalnya merumuskan bagaimana strategi penataan yang mampu mendorong kinerja pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik, yang pada ujungnya untuk menyejahterakan rakyat dan mendorong demokrasi lokal.
Letty berpendapat, pemerintah pusat seharusnya tidak hanya memprioritaskan pemekaran, tetapi juga penggabungan daerah berdasarkan kepentingan strategis nasional di bidang politik, ekonomi, serta persebaran penduduk. Termasuk kualitas sumber daya manusia (SDM) dan keamanan.
“Kegagalan selama ini disebabkan oleh masih lemahnya kapasitas manajemen pemerintahan, kesiapan SDM aparat pemerintahan, legislatif, ketersediaan sarpras (sarana dan prasarana), tata kelola pemerintahan, dan masalah korbinwas (koordinasi, pembinaan, dan pengawasan),” ujar Letty.
“Akibatnya, masih banyak kepala daerah yang kena kasus OTT (operasi tangkap tangan) oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).”