close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Koalisi masyarakat sipil melayangkan uji formil dan materil terhadap UU No 2 tahun 2018 tentang MD3, agar MK dapat membuktikan dalam proses persidangan telah terjadi cacat formil dan adanya inkonstitusionalitas. / Antara Foto
icon caption
Koalisi masyarakat sipil melayangkan uji formil dan materil terhadap UU No 2 tahun 2018 tentang MD3, agar MK dapat membuktikan dalam proses persidangan telah terjadi cacat formil dan adanya inkonstitusionalitas. / Antara Foto
Politik
Kamis, 31 Mei 2018 03:12

UU MD3 digugat ke Mahkamah Konstitusi

Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh koalisi masyarakat sipil.
swipe

Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, (MD3) kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh koalisi masyarakat sipil.

Koalisi masyarakat sipil melayangkan uji formil dan materil terhadap UU No 2 tahun 2018 tentang MD3, agar MK dapat membuktikan dalam proses persidangan telah terjadi cacat formil dan adanya inkonstitusionalitas pasal- pasal yang termuat dalam UU tersebut.

Koalisi masyarakat sipil tolak UU MD3 (UU No 2 Tahun 2018) melayangkan judicial review (JR) kepada MK. Sedikitnya, sembilan permohonan uji materil terhadap UU hasil revisi tersebut telah diterima oleh MK. 

Revisi tersebut merupakan bagian dari respons publik berkenaan dengan munculnya pasal kontroversial, yaitu yang terdapat pada pasal 73 ayat 2, pasal 245, pasal 122 huruf I, sekaligus cacat proses pembahasan.

Peneliti Kode Inisiatif, Adelline berpendapat,  perbedaan JR yang dilakukan oleh koalisi adalah tidak hanya pengujian secara materil semata, akan tetapi turut melakukan pengujian secara formil terhadap proses revisi UU MD3 yang tak sesuai prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan. 

"Proses pembahasan revisi UU MD3 cacat formil. Secara konstitusional, kewenangan pembentukan UU berada di tangan presiden dan DPR. Hal ini dikuatkan melalui Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR," katanya melalui keterangan resmi, Rabu (30/5).

Begitupun, dalam proses pembahasan yang dilakukan oleh presiden bersama dengan DPR. Namun, mengingat padatnya tugas dan kewenangan presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara, maka dalam proses pembahasan revisi UU, memungkinkan bagi presiden menugaskan menteri untuk mewakilinya, sebagaimana bunyi pasal 49 UU No 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

"Pelimpahan tugas ini, bentuk pemberian mandat dari presiden kepada menteri selaku pembantunya dengan prinsip tanggung gugat dan tanggung jawab tetap berada pada si pemberi mandat/presiden," tegasnya.

Oleh karena itu, dalam suatu pembahasan hingga proses “persetujuan bersama“ yang dilakukan dalam revisi UU, menteri harus bertindak atas kesesuaian kehendak si pemberi mandat/presiden. 

Karena, hal tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban yang melekat pada presiden, selaku pemilik kewenangan dan juga tertib menteri sebagai pembantu presiden yang memiliki batasan dalam melakukan arahan, petunjuk dan instruksi dari presiden. 

Akan tetapi, sikap yang ditunjukkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, dalam proses revisi UU MD3 dengan memberikan persetujuan tanpa didahului laporan/ persetujuan sikap dari presiden, hal tersebut jelas melampaui kapasitas dan kewenangan.

Ketidaksesuai sikap menteri dengan arahan presiden, terkonfirmasi dengan tidak di tandatanganinya UU MD3 hasil revisi. Sikap menteri ini jelas penyelewenangan atas pelaksanaan mandat yang diberikan. 

Berdasarkan hal itu, jelas proses revisi UU MD3 ini tidak memenuhi ketentuan konstitusional dan prosedur dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga menjadi cacat formil yang menjadikan UU hasil revisi ini tidak sah. 
 
"Oleh karenanya, koalisi masyarakat sipil melakukan uji formil dan materil terhadap UU No 2 tahun 2018 tentang MD3, agar MK dapat membuktikan dalam proses persidangan telah terjadi cacat formil dan adanya inkonstitusionalitas pasal- pasal yang termuat dalam UU A quo, sehingga pemberlakukan UU ini dapat dibatalkan oleh MK," jelasnya.

Jika petitium ini dikabulkan, maka UU no 2/2018 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan agar tidak terjadi kekosongan hukum maka dihidupkan lagi UU MD3 yang sebelumnya.

img
Robi Ardianto
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan