close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Koalisi masyarakat sipil baju putih Dhenok (change.org), Hendrik Rosdinar (YAPPIKA), Syamsudin Alimsyah (Kopel), Roy Salam (IBC), Ronal Rofiandri (PSHK), Usep Hasan Sadikin (Perludem). (Robi/ Alinea)
icon caption
Koalisi masyarakat sipil baju putih Dhenok (change.org), Hendrik Rosdinar (YAPPIKA), Syamsudin Alimsyah (Kopel), Roy Salam (IBC), Ronal Rofiandri (PSHK), Usep Hasan Sadikin (Perludem). (Robi/ Alinea)
Politik
Kamis, 15 Maret 2018 17:38

UU MD3: Kritik publik dan akrobat politik Jokowi

Gelombang kritik deras mengalir seiring berlakunya UU MD3. Munculnya UU itu dianggap sebagai ancaman pelemahan demokrasi.
swipe

Hari ini genap 30 hari pasca penolakan tanda tangan Presiden Jokowi, atas produk legislasinya yang dinilai kontroversial, UU MD3. Wakil rakyat di Senayan yang diharapkan mampu mengakomodir upaya penguatan demokrasi, justru jadi tukang kebiri. Sementara RI-1 dituding hanya sibuk memainkan akrobat politik.

Merespons ini, sejumlah kalangan yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil, menegaskan penolakannya. Penghimpunan dukungan pun dilakukan lewat kanal-kanal di jagat maya, termasuk petisi Change.org, yang hingga kini berhasil meraup 205 ribu dukungan.

Saat gelombang protes menguat, Joko Widodo justru curi panggung dengan berkoar-koar soal keengganannya meneken UU itu. Hal ini dinilai Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center, Roy Salamsebagai aksi akrobat politik semata. Menurutnya, akrobat politik itu tampak dari sikap presiden dan pernyataannya yang menyatakan enggan menandatangani UU MD3, tapi kemudian mempersilakan publik untuk menggugat ke MK.

Dia merangkum dua kesimpulan, berkenaan dengan hal tersebut. Pertama, Jokowi bukan orang yang bisa menyelesaikan masalah atau berani mengambil risiko. Kedua, ia memang bersembunyi di balik sesuatu. "Lempar batu sembunyi tangan," katanya.

Sementara UU ini hanya mengucurkan keuntungan pada parlemen, dari segi fasilitas yang bertambah. Di sisi lain, penambahan fasilitas itu harus dibayar mahal oleh masyarakat. Sebab anggaran infrastruktur ditarik untuk membiayai fasilitas tambahan pejabat. Yang lebih celaka adalah, disunat anggarannya, publik masih dihajar dengan pasal kriminalisasi. 

"Publik benar-benar dirugikan pada pasal itu," tegasnya.

Lebih tidak rasional lagi dia menyebut, jika presiden tidak mengetahui proses yang terjadi dalam penyusunan UU ini. Realitas itu sungguh naif, karena ada wakilnya pada saat itu sebagai perpanjang tangan yakni Kemenkumham, namun belakangan ia justru meminta publik menggugat di Mahkamah Konstitusi.

Hal itu diamini Manajer Program YAPPIKA Hendrik Rosdinar. Baginya, upaya pemerintah menolak membubuhkan tanda tangan di UU MD3 belum cukup. Seorang presiden seharusnya bisa lebih jauh dalam mengambil langkah daripada hanya sekadar berlaku normatif. Ini justru jadi sinyalemen, posisi Jokowi sebagai RI-1 lemah.

Jika Jokowi serius menolak UU ini, semestinya ia  memberikan instruksi atau memaksa  Kemenkumham untuk melakukan revisi kembali UU tersebut. Terutama revisi pasal-pasal yang dianggap kontroversial atau bisa saja Jokowi menggulirkan Perppu.

"Presiden harus bisa mengajukan ke Kemenkumham untuk kembali melakukan revisi atau jika memang mendesak preiden bisa mengeluarkan perppu. Tanpa itu presiden mencoba melakukan cuci tangan, yang seolah-oleh dia telah bersikap," katanya.

Apalagi dilihat dari proses perumusannya, pemerintah eksekutif sudah terjun langsung dalam rapat pembahasan di Senayan. "Urusan Kemenkumham tidak berkoordinasi dengan presiden itu soal lain. Itu justru menunjukkan buruknya kinerja kabinet kita terutama dalam hal koordinasi, ongkos ini yang harus dibayar dengan tindakan konkret," katanya.

Jika sudah didesak dengan gelombang protes namun Jokowi tetap acuh, maka publik akan melihat presiden abai dan tidak bisa bersikap.

img
Robi Ardianto
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan