close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Anggota keluarga, teman, dan pendukung anggota DPR dan DPD yang baru dilantik berkumpul di sekitar Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Rabu (9/10/2024)./Foto vel/dpr.go.id
icon caption
Anggota keluarga, teman, dan pendukung anggota DPR dan DPD yang baru dilantik berkumpul di sekitar Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Rabu (9/10/2024)./Foto vel/dpr.go.id
Politik
Kamis, 10 Oktober 2024 12:00

Wajah buruk dinasti politik di DPR

ICW mencatat, ada 174 dari 580 anggota DPR 2024-2029 yang terindikasi punya keterkaitan dengan dinasti politik.
swipe

Dalam laporan terbarunya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, terdapat 174 atau 30% dari 580 anggota DPR periode 2024-2029 yang terindikasi memiliki keterkaitan dengan dinasti politik—upaya mempertahankan atau mengakumulasi (umumnya dengan mewariskan) kekuasaan di posisi publik bagi kelompok keluarga.

Mayoritas berasal dari daerah pemilihan Jawa Barat, sebanyak 36 orang. Disusul Jawa Timur sebanyak 19 orang dan Jawa Tengah 18 orang. Berdasarkan partai politiknya, Partai Golkar paling banyak, yakni 38 anggota. Disusul Partai Gerindra 28 anggota, Partai NasDem 25 anggota, PDI-P 18 anggota, PKB 17 anggota, Partai Demokrat 16 anggota, dan PAN 10 anggota.

Menurut peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, dinasti politik mempersempit ruang terbuka bagi kader-kader yang meniti jalan sejak awal hanya modal mau bergabung dengan partai politik tertentu.

Lucius mengingatkan, dampak banyaknya anggota DPR yang terindikasi dinasti politik bisa membuat lembaga perwakilan rakyat itu menjadi lembaga keluarga. Formappi, kata dia, pernah menemukan ada 79 orang yang terindikasi dinasti politik. Mulai dari suami-istri, ibu-anak, anak anggota DPR, anak kepala daerah, hingga anak elite partai politik.

Dia pun menduga, ketika sudah menjadi lembaga keluarga, maka penyimpangan kekuasaan menjadi sesuatu yang tak bisa dihindarkan. Kekuasaan yang mengabdi pada keluarga pun akan menutup akses publik pada akuntabilitas penguasa.

“Parpol dan dinasti politik berjalan beriringan. Parpol yang dikelola bak perusahaan pribadi, memudahkan ikhtiar politik dinasti tercipta,” ujar Lucius kepada Alinea.id, Selasa (8/10).

Terpisah, pengamat politik Sebastan Salang menilai, fenomena dinasti politik merupakan potret demokrasi yang menunjukkan parlemen semakin dikuasai keluarga elite partai politik dan keluarga pejabat pemerintah.

Selain itu, kata Sebastian, fenomena ini menunjukkan demokrasi sudah sangat transaksional dan pragmatis. Menurutnya, dinasti politik terbentuk mulai dari level bawah di tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat. Elite partai dan pejabat pemerintahan adalah sumber utama penyumbang politik dinasti.

“Jika suatu institusi dikuasai dinasti seperti di parlemen, jangan berharap lembaga itu akan kritis terhadap pemerintah. Yang terjadi adalah persekongkolan,” ujar Sebastian, Rabu (9/10).

“Dengan demikian, kita tidak bisa berharap banyak DPR yang akan datang memiliki kinerja yang lebih baik dari periode sebelumnya. Apalagi koalisi di parlemen dikuasai secara mayoritas oleh pemerintahan yang berkuasa.”

Sementara itu, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan, kondisi politik selama 10 tahun terakhir mengalami kemunduran. Menurutnya, hal ini dipicu kebijakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang bertentangan dengan hukum dan konstitusi, dengan merangkul legislatif untuk mendukungnya, sehingga fungsi dan peran DPR menjadi lumpuh. Karena tidak ada lagi check and balances.

“Kebijakan Jokowi yang pro-oligarki juga dengan sengaja membiarkan oligarki menguasai DPR, sehingga legislatif lebih mudah diatur,” ucap Anthony, Rabu (9/10).

Dampaknya, produk undang-undang dari DPR tak lagi berpihal dan adil kepada rakyat. Misalnya, Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Ibu Kota Nusantara, dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

DPR yang terafiliasi dinasti politik, sebut Anthony, juga tidak bisa diharapkan dapat menjadi pengawas presiden yang efektif. Terbukti, banyak pelanggaran peraturan perundang-undangan, bahkan konstitusi, yang dibiarkan oleh legislatif.

“Masyarakat berharap kebijakan presiden terpilih Prabowo Subianto tidak terpengaruh oleh oligarki dan kroninya di DPR,” ujar Anthony.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan