close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi politik uang. /Foto Antara
icon caption
Ilustrasi politik uang. /Foto Antara
Politik
Jumat, 21 Juni 2024 11:50

Waspadai makelar suara di Pilkada 2024

Praktik politik uang dengan segala bentuknya diprediksi bakal masif terjadi pada Pilkada Serentak 2024.
swipe

Praktik politik uang dengan segala bentuknya diprediksi bakal masif terjadi pada Pilkada Serentak 2024. Berkaca pada Pilpres 2024 dan Pileg 2024, politik uang kian jadi tradisi yang tak terpisahkan dalam kontestasi elektoral lima tahunan. Seiring itu, makelar-makelar suara terus menjamur. 

Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati mengatakan sulit untuk memupus politik uang di Pilkada Serentak 2024. Ia mendasarkan argumennya pada pengawasan terhadap praktik jual-beli suara oleh Bawaslu yang tergolong lemah di Pilpres 2024 dan Pileg 2024. 

Para makelar suara, menurut Neni, leluasa beroperasi lantaran tidak ada efek jera. Sanksi pun kerap hanya menyasar para penerima uang. Kandidat dan para operator jual-beli suara kerap lolos dari jerat hukum. 

"Tidak hanya menjerat pelaku politik uang, tetapi juga yang menerima politik uang sama sama terkena pidana. Misalnya, di Pilbup Ciamis 2018, ada tukang ojek harus menjalani proses percobaan tiga bulan (karena menjalankan politik uang)," ucap Neni kepada Alinea.id, Sabtu (15/6).

Berbasis pengalaman pengawasan di pilkada-pilkada serentak sebelumnya, menurut Neni, ada banyak cerita sukses yang bisa dijadikan rujukan pengawasan oleh Bawaslu dan penegak hukum. Namun, ia pesimistis Bawaslu dan kawan-kawan berani menjalankan pengawasan terhadap politik uang secara serius. 

Apalagi, pilkada akan berlangsung di 37 provinsi serta 508 kabupaten dan kota. "Lagi-lagi memang sosialisasi regulasi pilkada dan pendidikan politik kepada masyarakat perlu dilakukan secara masif," imbuh Neni. 

Direktur Riset Indonesia Presidential Studies (IPS) Arman Salam sepakat Pilkada Serentak 2024 akan marak diwarnai politik uang. Ia berkaca pada brutalnya jual-beli suara pada Pileg 2024 dan Pileg 2024 yang baru saja berakhir. 

"Yang terjadi Pileg dan Pilpres 2024 kemarin terlihat sangat ugal ugalan. Bukan saja pada tataran tingkat dua, namun pada tataran legislatif tingkat nasional juga turut meramaikan pesta pragmatisme secara masif," ucap Arman kepada Alinea.id, Sabtu (16/6).

Menurut Arman, politik uang tergolong efektif mempengaruhi dukungan publik terhadap salah satu kandidat. Berbasis itu, parpol pun kian pragmatis dalam memilih kandidat. Kapasitas dan kapabilitas kandidat dalam memimpin mulai dikesampingkan. 

"Partai mulai lebih berat mempertimbangkan isi tasnya dibanding kapasitasnya seorang kepala daerah," ucap Arman. 

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Usep Hasan Sadikin menilai makelar suara terus eksis lantaran pengawasan oleh Bawaslu lemah. Menurut dia, kasus-kasus politik uang kerap tak masuk ke meja hijau karena alasan tak cukup bukti. 

"Baik dari temuan maupun laporan, serta buntu ketika dibawa ke Sentra Gakkumdu. Bawaslu sebenarnya bisa menggunakan kewenangan untuk mengumpulkan bukti karena fungsi pengawasan Bawaslu tak hanya sebatas menerima laporan, melainkan juga mengumpulkan bukti dari dugaan politik uang," ucap Usep kepasa Alinea.id, Selasa (19/6).

Pasal 73 Ayat (1) UU No 10/2016 secara tegas menyatakan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih. Berbasis regulasi itu, Bawaslu semestinya bisa lebih kreatif menindak politik uang. 

"Selain itu, mengantisipasi hal tersebut dengan menyadarkan kepada pemilih bahwa pemilik tiap suara adalah pemilih itu sendiri. Penting melakukan pendidikan politik agar pemilih bisa berdaulat memberikan suaranya dan menjaga suaranya dari proses pemungutan suara sampai penghitungan dan rekap suara," ucap Usep.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor
Bagikan :
×
cari
bagikan