close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Calon presiden Prabowo Subianto dalam sebuah momen kampanye di Papua pada Pilpres 2019. /Foto X @Prabowo
icon caption
Calon presiden Prabowo Subianto dalam sebuah momen kampanye di Papua pada Pilpres 2019. /Foto X @Prabowo
Politik
Senin, 14 Oktober 2024 14:00

Yang harus dilakukan Prabowo supaya Papua tak terus  "membara"

Selama dua periode pemerintahannya, Jokowi dinilai gagal memadamkan bara konflik di Papua.
swipe

Selama dua periode pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak kunjung mampu memadamkan bara konflik di Papua. Hingga kini, sebagian wilayah di Papua masih terkategori daerah operasi militer. Kontak senjata antara militer dan Tentara Nasional Papua Barat–Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) pun terus berulang. 

Konflik kian parah lantaran pemerintah kerap mengirimkan pasukan bersenjata tanpa seizin DPR. Pada Pasal 7 ayat 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI bahwa operasi untuk perang maupun bukan untuk perang harus berdasarkan keputusan politik negara. 

Peneliti dari Imparsial, Hussein Ahmad menilai Papua terus membara lantaran pemerintah menggunakan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan konflik. Padahal, sudah banyak riset yang merekomendasikan pendekatan dialogis untuk meredam konflik di Bumi Cenderawasih. 

"Alih-alih melakukan itu, justru yang kami lihat dalam sepuluh tahun terakhir ini mirip dibanding pemerintah sebelumnya yang kemudian dilakukan penebalan pasukan militer di sana. Bahkan, Jokowi banyak membangun instalasi militer di Papua," ucap Hussein kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Hussein menduga konflik di Papua sengaja dipelihara demi kepentingan bisnis elite-elite pengusaha dan politik di pusat. Apalagi, jika dibandingkan, TNI punya jumlah pasukan yang jauh lebih besar dan persenjataan yang lebih canggih ketimbang Tentara Nasional Papua Barat–Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). 

"Kita lihat sejarahnya, Freeport di Papua itu memerlukan tangan- tangan militer untuk mengusir orang lokal atau warga lokal dan warga adat dari tanahnya. Dibuat konflik sehingga mereka mengungsi. Jadi, polanya sama persis sama kasus Blok Wabu yang sempat membuat tersinggung (Menkomarves) Luhut (Binsar Pandjaitan)," kata dia. 

Tahun lalu, Luhut memperkarakan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan eks Koordinator KontraS Fathia Maulidiyanti lantaran membahas dugaan kepentingan bisnis anak perusahaan milik Luhut dalam konsensi migas di Blok Wabu, Papua. Keduanya kini telah divonis bebas. "Persis rezim ini dengan rezim Soeharto dalam menangani Papua," imbuh Hussein. 

Hussein mengatakan peminggiran masyarakat Papua oleh korporasi dan pemerintah untuk kepentingan bisnis berdampak fatal. Orang Papua memperlakukan tanah sebagai warisan nenek moyang. "Ini sulit kalau kemudian ditempuh dengan cara yang misalnya pembebasan lahan," kata Hussein. 

Lebih jauh, Hussein menyarankan agar pemerintahan Prabowo-Gibran tak lagi menjalankan pendekatan keamanan dalam upaya menuntaskan konflik Papua. Dialog sebagaimana yang dijalankan Presiden ke- 4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur saat meredam konflik di Papua perlu dicontoh. 

"Kita juga banyak pelajaran konflik yang diselesaikan dengan dialog. Sebagai contoh, konflik di Aceh tidak selesai dengan cara perang, tetapi dengan cara dialog. Kemudian Ambon. Itu selesai dengan cara dialog. Sementara di sisi lain kita juga punya contoh konflik yang diselesaikan dengan senjata dan gagal yaitu saat konflik Timor-Timur," ucap Hussein. 

Dalam pendekatan dialogis, Husein pemerintahan Prabowo mula-mula harus mengurai segala biang kerok konflik Papua, mulai dari masalah kesenjangan, kekerasan, dan pelanggaran HAM berat yang belum terungkap. Setelah itu, pemerintah baru memformulasi dialog bermakna yang melibatkan rakyat Papua.    

"Jadi, pendekatan dialog melibatkan lembaga penelitian, LSM (lembaga swadaya masyarakat), pemerintah, dan yang terpenting melibatkan orang Papua, dan masyarakat adat. Tokoh agama dan kelompok politik yang punya aspirasi itu yang harus diajak dialog maunya apa," ucap Hussein. 

Segendang sepenarian, peneliti isu Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas mengatakan pendekatan keamanan yang terus ditingkatkan untuk menangani konflik di Papua pada era Jokowi  keliru. Pendekatan tersebut justru hanya memperbanyak jatuhnya korban jiwa.

"Baik dari sisi aparat TNI/Polri dan juga warga sipil di Papua. Makanya, sejak pendekatan keamanan dari 2016, 2017, 2018, sampai 2021 itu meningkat terus kontak senjata di Papua. Kondisi ini tidak jauh beda dengan 2010- 2016," kata Cahyo kepada Alinea.id, Kamis (10/10).

Cahyo pun mengamini bila pengiriman pasukan bersenjata secara berangsur-angsur ke Papua berkaitan kepentingan bisnis dan investasi. Tak hanya memberantas gerakan separatis, personel TNI juga dibutuhkan untuk mengamankan aset-aset korporasi yang beroperasi di Papua. 

"Kalau dilihat dari berbagi penelitian, salah satunya yang dilakukan oleh Haris Azhar dan Fathia soal blok Wabu itu, ya, memang ada kepentingan bisnis di balik pengiriman pasukan ke Papua," ucap Cahyo.

Pengiriman pasukan untuk meredam konflik, lanjut Cahyo, tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat Papua. Ia berharap Prabowo selaku presiden terpilih mengevaluasi pendekatan keamanan yang dijalankan Jokowi selama dua periode pemerintahannya. 

"Pendekatan dialog juga terbukti banyak berhasil. Pembebasan sandera pilot Susi Air, Philip Mehrtens yang disandera TPNPB-OPM itu juga dilakukan dengan dialog damai. Jadi, ada preseden baik untuk menempuh cara-cara dialogis," ucap Cahyo. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan