Wacana pembentukan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) kembali mencuat. Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra mengklaim Presiden Prabowo Subianto tengah berupaya untuk menghidupkan kembali UU KKR.
"Pemerintahan baru, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, akan meneruskan upaya untuk menyusun kembali Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai dasar hukum menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa yang lalu," kata Yusril saat memberikan sambutan dalam acara Hari HAM Sedunia ke-76 di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, Selasa (10/12).
Di luar UU KKR, Yusril menegaskan pemerintahan Prabowo sudah merencakan sejumlah program berbasis HAM sebagaimana tertuang dalam poin pertama Asta Cita. "Ini merupakan satu tantangan yang berat bagi kita semua," kata eks Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu.
UU KKR pernah hidup pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Disahkan pada 2004, UU itu dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) hanya berselang dua tahun. Sejumlah pasal di UU tersebut dianggap tak memihak korban, termasuk di antaranya pemberian pengampunan bagi pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Pendiri Lokataru, Haris Azhar menekankan pentingnya komitmen politik pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Menurutnya, Prabowo perlu mengeluarkan instruksi yang jelas kepada Yusril untuk memastikan pengungkapan kebenaran, pengadilan terhadap pelaku, dan pemulihan hak korban.
“Hak korban itu bukan hanya kebenaran dan keadilan, tapi juga pemulihan. Pengungkapan kebenaran penting bukan hanya untuk korban, tapi juga untuk memperbaiki kebijakan negara agar kejahatan serupa tidak terulang,” tutur Haris kepada Alinea.id, Selasa (17/12).
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan upaya menghidupkan UU KKR harus sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Beleid itu menegaskan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu harus tetap mengedepankan proses yudisial.
Isnur mengingatkan KomnasHAM sudah menggelar penyelidikan panjang terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk di antaranya tragedi Semanggi I dan II. Ia khawatir UU KKR yang baru justru dirancang untuk memutihkan dosa-dosa pelanggar HAM berat di masa lalu.
“Cuma, sekarang yang harus dikedepankan ialah pengungkapan kebenarannya dulu, dihukum para pelakunya, baru restitusi. Itu jalan benar. Jadi, tidak dengan meninggalkan yudisal dan mencoba mengabulkan dengan nonyudisial. Itu prinsip negara hukum,” katanya kepada Alinea.id, Senin (16/12).
Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andy Muhammad Rezaldy menekankan pentingnya UU KKR sebagai wadah pengungkapan fakta. Namun, ia menegaskan proses ini tidak boleh menggantikan atau menegasikan proses yudisial.
“Proses hukum harus tetap berjalan. Mekanisme KKR bisa membantu membongkar fakta, tetapi tidak boleh melindungi aktor yang bertanggung jawab atau menunda keadilan bagi korban,” ujar Andy kepada Alinea.id, Selasa (17/12).
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan pemerintah semestinya tak perlu repot-repot menambah regulasi baru. Pasalnya, mekanisme penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat sudah ada UU Pengadilan HAM.
“Sederhananya, penyelesaian pelanggaran berat HAM itu perlu dilakukan dengan cara yang benar dan adil. Bentuk pengadilan ad hoc-nya, gunakan UU Pengadilan HAM yang sudah ada,” kata Usman kepada Alinea.id.