Alih-alih memasang foto Gibran Rakabuming Raka, Partai Demokrat kerap menyandingkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bersama bacapres Prabowo Subianto dalam berbagai baliho dan spanduk yang dipasang di berbagai daerah.
Di Jalan Margonda, Depok, Jawa Barat, misalnya, foto Prabowo terlihat hanya didampingi Ketum Demokrat AHY di sebuah baliho. Pemandangan serupa juga terlihat di sebuah baliho yang terpacak di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Ketua Badan Komando Strategis (Bakomstra) Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra mengatakan pemasangan baliho tanpa Gibran merupakan bagian dari strategi politik Demokrat. Ia membantah Demokrat setengah hati mendukung Prabowo-Gibran.
"Masalah spanduk yang tidak ada Gibran, ini kan masalah proses, masalah strategi. Semula memang kami memasang hanya Prabowo saja karena figurnya saat itu baru sosok capres," kata Herzaky kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.
Saat ini, Gibran telah resmi diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai cawapres Prabowo. KIM beranggotakan empat parpol penghuni parlemen, yakni Gerindra, Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Demokrat. Demokrat masuk menjadi anggota KIM paling akhir.
Herzaky menyebut rumor bahwa partainya setengah hati mendukung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 diembuskan mantan sekutu Demokrat di koalisi Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN). Tujuannya untuk memecah soliditas KIM.
"Banyak isu berseliweran yang dibuat oleh pihak-pihak yang menginginkan kami keluar... Narasinya Demokrat bakal balik lagi. Ini isu yang luar biasa, dan sedang kami upayakan melawan isu itu agar tidak muncul kembali," kata Herzaky.
Herzaky mengklaim Demokrat serius mendukung Prabowo-Gibran. Berdasarkan survei internal Demokrat, ada sekitar 70% pemilih Demokrat yang ingin Prabowo jadi presiden. "Jauh dari capres yang sebelumnya kami dukung," kata Herzaky.
Sebelum berlabuh di KIM, Demokrat membangun koalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan NasDem untuk mengusung Anies. Namun, Demokrat memutuskan angkat kaki setelah Anies mendadak menggandeng Cak Imin sebagai pendamping. Demokrat telah jauh-jauh hari mendorong AHY sebagai cawapres Anies.
Perlawanan simbolik
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak menilai Demokrat memang tidak lapang dada menerima pencalonan Gibran. Menurut dia, Gibran bukan sosok yang dikehendaki pemilih partai sebagai pendamping Prabowo.
"Di mata konstituen Partai Demokrat (PD), Gibran bukan figur yang memiliki daya tarik. Elite PD memahami hal itu. Sejak awal, PD melalui Pak SBY, berusaha mempengaruhi Prabowo untuk tidak menggandeng Gibran," kata Zaki kepada Alinea.id, Jumat (10/11).
Demokrat, lanjut Zaki, tengah berusaha menghindari isu dinasti politik dilekatkan pada parpol tersebut. Faktanya, sejumlah survei menunjukkan bahwa mayoritas publik menolak isu politik dinasti menyeruak usai Gibran "diloloskan" Mahkamah Konstitusi (MK) jadi cawapres.
"Di internal elite Golkar juga tidak jauh beda, penerimaan atas Gibran setengah hati. Faktanya, Prabowo sendiri sebenarnya tidak sreg dengan Gibran, tapi karena Jokowi yang minta maka ia tidak kuasa menolak. Gibran belum memiliki ketokohan yang mampu mendongkrak suara parpol pengusung," kata Zaki.
Situasi itu, kata Zaki, membuat parpol-parpol KIM lebih cenderung fokus mengurusi pentas Pileg 2024. Terkait itu, ia menduga Jokowi bakal turun tangan untuk memastikan Gibran punya peran. Salah satunya dengan memobilisasi aparat untuk pemenangan.
"Pusat kekuasaan di belakang Gibran akan bergerak sendiri dengan memobilisasi pemasangan spanduk-spanduk bergambar Gibran itu. Tanda-tandanya mulai terlihat. Fenomena 'Prabowo yes, Gibran no' menjadikan parpol koalisi fokus berjuang di pileg," kata dia.
Zaki menilai wajar jika Demokrat dan Golkar lantas bisa mengusung strategi sendiri-sendiri. Koalisi gemuk, kata dia, memang sulit diatur. "Fenomena spanduk AHY-Prabowo atau Airlangga Hartarto-Prabowo atau Bang Zul-Prabowo minus Gibran dapat dilihat sebagai ekspresi perlawanan simbolik mereka," kata Zaki.
Dalam podcast eks Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad yang tayang di Youtube, belum lama ini, eks Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Andi Widjajanto menyebut pencalonan Gibran sebagai pendamping Prabowo tidak masuk akal secara elektoral. Pasalnya, tidak ada parpol yang diuntungkan karena pencalonan putra sulung Jokowi itu.
Menurut Andi, Gibran seharusnya bisa menghasilkan efek ekor jas (coat tail effect) jika bersedia bergabung menjadi kader salah satu parpol di KIM. Jika tidak berhasil "dikuningkan atau dibirukan", maka efek elektoral Gibran diyakini bakal lari ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang saat ini dipimpin putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep.
"Dinastinya makin berasa. Jadi, kemudian ngapain Golkar, Demokrat, PAN, dan partai-partai lain mengusung satu orang yang tidak menghasilkan coat tail effect selama proses pilpres? Ketika mereka tidak melihat ada coat tail effect, selama pileg, ya mereka bekerja untuk mengamankan suaranya sendiri," kata Andi.