close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Gedung Komisi Kepolisian Nasional. /Foto dok. Kompolnas
icon caption
Gedung Komisi Kepolisian Nasional. /Foto dok. Kompolnas
Politik
Kamis, 04 Juli 2024 18:04

Yang tersirat dari timpangnya komposisi calon anggota Kompolnas

Kompolnas potensial bakal jadi sekadar perpanjangan tangan penguasa.
swipe

Seleksi anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) terancam jadi ajang seremonial untuk meloloskan calon-calon yang bakal menjadi perpanjangan tangan penguasa. Komposisi anggota Kompolnas yang tertera dalam Perpres No 17/2011 jadi sumber perkara. 

Sebagaimana tertera pada Pasal 29 ayat (1) dalam beleid itu, calon anggota Kompolnas berasal dari unsur pemerintah dan nonpemerintah. Rinciannya, 3 dari kalangan pakar kepolisian, 3 dari kalangan masyarakat sipil, dan 3 dari perwakilan pemerintah. 

Berbeda dari calon yang berasal dari kalangan pakar dan masyarakat sipil, calon-calon unsur pemerintah telah mendapatkan ”karpet merah” untuk tidak diseleksi terlebih dahulu oleh pansel. Tanpa harus berkeringat, calon-calon dari unsur pemerintah ditunjuk langsung oleh presiden. 

Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul) Orin Gusta Andini menilai komposisi calon semacam itu bermasalah. Menurut dia, tak mustahil jika pemerintah juga turut menitipkan calon dari kalangan pakar dan masyarakat sipil. 

Dengan asumsi dua calon titipan berhasil diselundupkan, maka Kompolnas bakal didominasi anggota-anggota yang pro penguasa. Fungsi pengawasan yang dimiliki Kompolnas bakal rapuh seandainya penyusunan rekomendasi dan kebijakan disusun secara kolektif kolegial. 

"Lima banding empat. Itu sudah bisa ditebak nanti jadinya seperti apa. Bukan tidak mungkin sisa yang empat justru hanya menjadi stempel atas langkah atas keputusan Kompolnas ke depannya. Jadi, sangat mungkin memiliki kecenderungan atau justru terjebak pada konflik kepentingan karena merupakan titipan itu tadi," ucap Orin kepada Alinea.id, Rabu (3/7).

Orin menduga ada upaya melemahkan Kompolnas sebagai pengawas kinerja kepolisian. Apalagi, Polri saat ini terkesan ingin bertransformasi menjadi lembaga superbodi via revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri). 

Tertuang dalam draf RUU tersebut, Polri bakal punya kewenangan membina penyidik lingkungan aparatur sipil negara, mengawasi ruang siber, dan melakukan penyadapan. Amnesty International Indonesia menilai isi RUU potensial membungkam kebebasan berpendapat dan bikin Polri mengangkangi kewenangan lembaga-lembaga lain. 

"Motivasi di balik sekian banyak aturan yang bermasalah itu bisa dibaca sebagai tanda adanya corak superioritas atau mendominasi. Padahal, selama ini Polri kerap jadi lembaga penegak hukum yang dikritik publik karena berbagai peristiwa. Alih-alih dievaluasi dan direstrukturisasi dengan tujuan bersih-bersih, malah semakin jauh dari harapan itu," kata Orin.

Upaya pelemahan Kompolnas, lanjut Orin, semestinya tak akan terjadi jika pemerintah punya komitmen politik untuk membangun kepolisian yang profesional dan akuntabel. Pemerintah seharusnya mengisi anggota Kompolnas dengan sosok yang punya keberanian untuk mengkritik kinerja Polri. 

"Tetapi, memang sekarang yang demikian itu sulit. Kondisinya sekarang itu Polri seolah lembaga penegak hukum yang dijadikan sebagai alat untuk syahwat kekuasaan. Itu sangat sulit," ucap Orin. 

Ahli hukum dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Al Wisnubroto sepakat komposisi anggota Kompolnas tak ideal. Meski begitu, ia berharap tiga calon anggota dari unsur pakar kepolisian dan masyarakat sipil nantinya bisa menjaga Kompolnas untuk tetap netral dan profesional dalam menjalankan tugas. 

"Untuk mengurangi prasangka buruk masyarakat dalam seleksi anggota Kompolnas saat ini, anggota pansel harus terdiri dari tokoh masyarakat yang independen dan berintegritas. Di samping proses seleksi yang transparan dan akutabel, dalam proses seleksi perlu melibatkan partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya," ucap Wisnubroto kepada Alinea.id

Integritas pansel, menurut Wisnubroto, krusial untuk memastikan kandidat-kandidat yang lolos adalah sosok-sosok yang berintegritas dan tak punya konflik kepentingan. Terlebih, situasi politik dan hukum yang terus memburuk karena kinerja kepolisian yang tidak sesuai harapan. 

Citra Polri, lanjut dia, saat ini terpuruk karena berbagai kasus kekerasan, perbuatan kriminal dan pelanggaran etik yang dilakukan personelnya. Kompolnas yang independen dan berintegritas dibutuhkan untuk mengawasi agar Polri tidak semakin sewenang-wenang.

"Untuk itu diperlukan sistem seleksi yang independen dan mampu menjamin terpilihnya anggota Kompolnas mampu mengembalikan marwah Polri. Karena itu  profesionalisme harus diutamakan demi membetengi kepentingan-kepentingan politik dibalik proses seleksi anggota Kompolnas," ucap Wisnubroto. 

Juni lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menunjuk anggota pansel untuk memilih anggota Kompolnas periode 2024-2028. Pansel dipimpin Hermawan Sulistyo sebagai ketua, Komjen Ahmad Dofiri sebagai wakil ketua, dan Yenti Ganarsih sebagai sekretaris. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor
Bagikan :
×
cari
bagikan