Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra, angkat bicara terkait keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonannya dalam uji materi presidential Undang-Undang Pemilu 2017. Di mana, meski memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, namun, pokok permohonan Yusril tidak beralasan menurut hukum.
MK juga menolak La Nyalla Mattaliti, yang menurut hakim Ketua DPD La Nyalla tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
Yusril menegaskan, hakim MK sudah berulangkali menolak permohonan pengujian terhadap pasal 222 UU Pemilu, meskipun para pemohon mengajukan pengujian dengan pasal UUD 45 yang berbeda dan argumentasi konstitusional yang berbeda.
"MK tetap kukuh dengan putusan sebelumnya, yang mungkin dianggap sebagai yurisprudensi yang menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 45," ujar Yusril dalam keterangannya, Jumat (8/7).
Dalam putusannya, MK selalu mengemukakan argumen bahwa norma Pasal 222 untuk memperkuat sistem Presidensial. Padahal, kata Yusril, "executive heavy" yang ada dalam UUD 45 sebelum amandemen sudah sejak lama ditentang.
"UUD 45 pascaamandemen justru menciptakan check and balances antarlembaga negara," kata dia.
Menurut Yusril, tidak ada hubungan korelatif antara presidential treshold dengan penguatan sistem presidensial, sebagaimana selama ini didalilkan MK. Sebab, politik sangat dinamis dan oposisi bisa berubah menjadi partai pemerintah hanya dalam sekejap.
"Pasal 222 itu adalah "open legal policy" Presiden dan DPR yang tidak dapat dinilai oleh MK. Saya telah membantah seluruh argumentasi hukum MK tersebut, namun sampai saat ini MK tetap kukuh dengan pendiriannya bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstutusional," ungkap Yusril.
Yusril berpandangan, MK tidak seharusnya kukuh dengan pendapatnya semula, karena zaman terus berubah dan argumen hukum juga terus berkembang.
Dalam fiqih, lanjut Yusril, tokoh sekaliber Imam Syafii saja bisa mengubah pendapat hukumnya dengan merumuskan "qaul jadid" atau pendapat baru, dan meninggalkan "qaul qadim" atau pendapat terdahulu karena situasi atau "ratio legis" yang mendasari lahirnya sebuah norma hukum telah berubah.
"MK tidak seharusnya mempertahankan sikapnya yang kaku dan banyak dikririk para akademisi, sehingga terkesan "jumud" dengan perubahan hukum yang terjadi begitu cepatnya dalam masyarakat kita," kata dia.
Dengan ditolaknya permohonan PBB dan pimpinan DPD, serta permohonan-permohonan lainnya, Yusril menilai demokrasi Indonesia semakin terancam dengan munculnya oligarki kekuasaan.
"Calon presiden dan wakil presiden yang muncul hanya itu-itu saja dari dari kelompok kekuatan politik besar di DPR yang baik sendiri atau secara gabungan mempunyai 20% kursi di DPR," katanya.
Yusril menambah, capres yang maju adalah calon yang didukung oleh parpol berdasarkan treshold hasil pemilihan legislatif (pileg) lima tahun sebelumnya. Padahal dalam lima tahun itu, para pemilih dalam pemilu sudah berubah, begitu pun dengan formasi koalisi dan kekuatan politiknya.
"Namun segala keanehan ini tetap ingin dipertahankan MK. MK bukan lagi "the guardian of the constitution" dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi "the guardian of oligarchy". Ini adalah sebuah tragedi dalam sejarah konstitusi dan perjalanan politik bangsa kita," pungkasnya.