Profil Lengkap
DPR baru saja mengesahkan UU Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Keberadaan UU tersebut diyakini bisa mengatasi berbagai permasalahan dalam pengelolaan PNBP.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, UU sebelumnya yakni, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP telah berusia 21 tahun sehingga tidak bisa memenuhi tuntutan zaman. Baik itu dari sisi peraturan perundang-undangan dan pengelolaan PNBP.
"Perubahan perundang-undangan PNBP untuk meningkatkan pelayanan pemerintah yang bersih, profesional, transparan, dan akuntabel, serta mengoptimalkan penerimaan negara yang berasal dari PNBP sehingga dapat meningkatkan kesejahteran rakyat," jelas Sri Mulyani, Jum'at (27/7) di kantornya.
Ada beberapa penyempurnaan pokok dalam UU PNBP ini, diantaranya, pengelompokkan objek, pengaturan tarif, tata kelola, pengawasn, dan hak wajib bayar.
Agar lebih maksimal, UU PNBP yang baru mengenal enam klaster, yaitu pemanfaatan sumber daya alam, pelayanan, pengelolaan kekayaan negara dipisahkan (KND), pengelolaan barang milik negara, pengelolaan dana, dan hak negara lainnya.
Pengklasteran ini digunakan sebagai pedoman menetapkan jenis dan tarif PNBP. Guna mengoptimalkan penerimaan negara yang berasal dari PNBP dengan tetap memperhatikan karakteristik masing-masing objek PNBP, prinsip keadilan, dan menjaga kualitas layanan pada masyarakat.
Pengaturan tarif PNBP mempertimbangkan dampak pengenaan tarif terhadap masyarakat, dunia usaha, pelestarian alam dan lingkungan, sosial budaya, serta aspek keadilan. Termasuk penguatan landasan hukum dalam rangka pemberian kebijakan pengenaan tarif sampai dengan Rp0,00 (nol rupiah) atau 0% (nol persen) untuk kondisi tertentu.
Kebijakan tersebut antara lain ditujukan untuk masyarakat tidak mampu, pelajar/mahasiswa, penyelenggaraan kegiatan sosial, usaha mikro, kecil, dan menengah, kegiatan keagamaan, kegiatan kenegaraan, dan keadaan di luar kemampuan Wajib Bayar atau kondisi kahar.
"Penguatan fungsi pengawasan dilaksanakan dengan melibatkan aparat pengawas intern pemerintah, sehingga dapat meminimalkan pelanggaran atas keterlambatan atau tidak disetomya PNBP ke kas negara oleh wajib bayar, instansi pengelola PNBP, dan mitra instansi pengelola serta penggunaan langsung di luar mekanisme APBN oleh instansi pengelola PNBP," jelas Sri Mulyani.
Pada kesempatan yang sama, Dirjen Anggaran Kemenkeu, Askolani, menjelaskan, penetapan jenis dan tarif PNBP memungkinkan dilakukan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Khususnya untuk tarif atas layanan PNBP yang bersifat dinamis. Sebagai upaya menjaga kualitas pelayanan dan untuk percepatan penyesuaian terhadap nilai wajar dan harga pasar.
Apalagi BPK seringkali menemukan adanya Kementerian/Lembaga yang melihat potensi untuk dipungut PNBPnya. Namun terlalu cepat mengambil tindakan langsung dengan memungut ke masyarakat, padahal belum ada dasar hukum atau tidak ada peraturan pemerintah.
"Bila membutuhkan payung hukum yang cepat, bisa dimungkinkan mempergunakan PMK. Kalau membuat PP, membutuhkan cukup lama, yakni, 5-6 bulan. Tapi dengan PMK, kita bisa nilai, layak atau tidak untuk dipungut, Dibuat dinamis, tapi sifatnya adhock," jelas Askolani.
Pelaksanaan UU PNBP yang baru ini akan diikuti dengan penyederhanaan dan pengurangan jenis dan tarif PNBP, khususnya yang berkaitan dengan layanan dasar, tanpa mengurangi tanggung jawab Pemerintah untuk tetap menyediakan layanan dasar secara berkualitas dan berkeadilan berdasarkan peraturan perundangundangan.
Tetapi pengesahan UU PNBP ini tidak semata-mata untuk mengoptimalkan penerimaan negara, namun juga diperlukan dalam rangka mewujudkan perbaikan kesejahteraan rakyat, meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, memperbaiki distribusi pendapatan, serta menjaga kelestarian lingkungan hidup untuk kesinambungan antar generasi.